| Dunia BMX di Sini
Cepat Mewabah, Cepat Pula Melorot
Bayu Dwi Mardana
Agar terhindar dari cedera fatal, seorang pengendara BMX kelas jalanan (street) membekali diri dengan alat pelindung. Alat-alat ini amat mudah dijumpai di toko-toko olahraga.
Dunia BMX memang identik dengan gaya hidup anak-anak muda masa kini. Sebuah gaya hidup yang digauli oleh tiap anak muda pada masa jayanya. Sejarah telah memberi bukti. Saat ”virus” BMX mewabah, sejak itu pula generasi muda negeri ini ramai-ramai pindah ”aliran”. Ibarat gelombang, hobi ini punya masa pasang surut yang kentara sekali. Dunia BMX begitu cepat dikenal tapi amat mudah digeser tingkat popularitasnya.
Menurut Muhammad Yusuf (26), salah seorang pehobi sepeda yang setia dengan BMX, akhir delapan puluhan dan awal sembilan puluhan boleh dikata masa suram bagi perkembangan BMX di Indonesia. Nama komunitas penggemar BMX sudah terlanjur dicap jelek oleh mata awam. Berbau kriminal, narkoba dan beragam tindakan negatif lainnya. Buntutnya, dunia BMX sepi dari arena lomba. Sponsor pun enggan mengucurkan dana.
”Wah, waktu itu saya sempat pusing juga. Pamor BMX turun drastis, tapi justru di situ awal saya suka dengan hobi ini. Jadi, saya main hanya berdua dengan abang ipar. Habis pemain lamanya, sudah bosan main BMX lalu pindah ke MTB (mountain bike),” papar Yusuf. Ia sendiri memutuskan tetap bertahan dengan hobi BMX karena kecintaannya pada atraksi dan tarian di atas sepeda itu. ”Kalau pakai MTB rasanya ribet gitu lho. Dengan BMX ada troator tinggal dilompati saja. Gampang, kan.”
Lagi pula anak muda yang saat ini membuka usaha penyediaan suku cadang dan aksesoris bagi BMX itu ingin hidup dari hobi BMX. Tak pelak, dibutuhkan rasa cinta yang dalam dan konsistensi dalam menekuni sebuah bidang. Dan Yusuf sadar betul akan hal itu. Jadilah dia pemain setia dalam dunia BMX ini. Teman-teman sepermainannya, terutama senior, telah ditelan rimba kota.
”BMX mulai terangkat lagi pada tahun 1995. Ini gara-garanya, beberapa pemain lamanya ternyata masih suka ngumpul di Senayan. Lama-lama kok makin banyak yang gabung. Dari situ timbul ide, kenapa BMX nggak dimunculin lagi,” ucap Yusuf dengan logat Betawi yang kental.
Komunitas Senayan ini pun tumbuh pesat, berkembang menjadi sentral dan ajang kumpul bagi seluruh komunitas BMX di Jakarta dan sekitarnya. Ada yang datang dari Kemayoran, Pulo Gebang, Pondok Kopi, Ciputat, bahkan ada dari Depok dan Cikarang. ”Malah ada perumpaan, kalau belum pernah datang ke Senayan, ibaratnya anak itu belum naik haji ke Mekkah seperti dalam (agama) Islam,” kelakar lelaki berkulit bersih itu yang disambut derai tawa pehobi BMX lainnya.
Kata Yusuf, tak ada asosiasi atau wadah besar yang menampung seluruh pehobi BMX. Kini, komunitas yang ada tumbuh berdasarkan lokasi saja. Kecil-kecil tapi jumlahnya bisa sampai ratusan. ”Yang di Senayan itu hanya tempat nongkrong saja. Bukan sebuah wadah asosiasi.”
Apa yang dikatakan Yusuf itu ada benarnya. Komunitas BMX yang tumbuh berdasarkan lokasi main amat mudah dijumpai di seantero Jabotabek. Lihat saja Super Tetra, sebuah komunitas BMX yang didirikan oleh anak-anak muda di bilangan Kayu Tinggi, Pulo Gebang dan sekitarnya. Komunitas ini tumbuh dari seringnya frekuensi berjumpa dan bermain bersama di satu lokasi.
Keterbatasan alat bantu untuk bermain membuat rasa solidaritas tumbuh subur. Tak jarang, mereka harus membuat sendiri sebuah papan lompatan. Semuanya serba mandiri. Mencari kayu sisa proyek bangunan, merancang hingga membuat papan itu. Dari situ, kekompakan dan daya kreativitas terjalin dengan apik.
Di luar negeri, perkembangan BMX sudah demikian maju. Riders bule itu tak bakal kesulitan mencari arena bermain untuk semua kelas. Sponsor pun jor-jor-an dalam mendukung sebuah tim. Semuanya serba disiapkan dengan serius. Contoh paling gampang, soal teknologi. Mereka sudah memproduksi sepeda BMX dengan bahan aluminium alloy dan titanium. Alhasil, sepeda makin kuat tahan banting tapi amat ringan untuk diajak menari di udara. Anak-anak muda kita hanya bisa melihatnya lewat majalah, internet dan tontonan di VCD. Dan bagi mereka itu sudah cukup. (str/bayu dwi mardana) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar